Perubahan iklim bukan hanya soal cuaca ekstrem, tetapi juga memicu migrasi massal manusia. Naiknya permukaan laut, kekeringan, dan bencana alam membuat jutaan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Bangladesh, salah satu negara dengan garis pantai rendah, menghadapi ancaman besar. Jutaan warganya berisiko kehilangan tempat tinggal akibat banjir rob dan naiknya air laut. Hal serupa juga terjadi di pulau-pulau kecil Pasifik.
Kekeringan panjang di Afrika mendorong perpindahan penduduk ke kota besar. Namun, urbanisasi cepat tanpa perencanaan memicu masalah baru seperti kemiskinan, pengangguran, dan konflik sosial.
PBB memprediksi pada 2050, lebih dari 200 juta orang bisa menjadi pengungsi iklim. Ini akan menciptakan tekanan besar pada negara penerima migran dan memicu konflik geopolitik baru.
Migrasi massal juga menimbulkan dilema hukum. Status pengungsi iklim belum diakui secara resmi dalam hukum internasional, sehingga banyak orang tidak mendapat perlindungan yang layak.
Namun, ada sisi positif jika dikelola dengan baik. Migrasi bisa menjadi katalis pertumbuhan ekonomi dengan tenaga kerja baru, asalkan ada integrasi sosial dan kebijakan inklusif.
Perubahan iklim jelas bukan lagi isu lingkungan semata, tetapi isu kemanusiaan. Migrasi massal adalah bukti bahwa krisis iklim menyentuh langsung kehidupan manusia.
Jika dunia tidak bertindak cepat, migrasi ini bisa menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21.